Minggu, 06 Februari 2011

Pengertian Keuangan Dan Kerugian Negara

Oleh: Erman Rajagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hukum tidak otomatis berperan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menciptakan kualitas. “predictability, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pe­ma­ha­man mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah men­datangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi. Paling sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara” dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tin­dak pidana korupsi dewasa ini, yaitu:
Apakah asset PT. BUMN Persero adalah termasuk keuangan negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) menyatakan bahwa Perusahaan Persero (Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan ter­a­ba­tas yang modalnya terbagi atas sa­ham yang seluruh atau paling se­dikit 51% (lima puluh satu persen) sa­hamnya dimiliki oleh Negara Re­publik Indonesia yang tujuan uta­ma­nya mencari keuntungan. Se­lan­jutnya menurut Pasal 11 Per­sero berlaku ketentuan Undang-Un­dang No.1 Tahun 1995 (UU PT). Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) UU PT, BUMN persero mem­per­oleh status badan hukum setelah ak­te pendiriannya disahkan oleh men­teri Kehakiman.
Karakteristik  suatu badan hu­kum adalah pemisahan harta ke­ka­yaan badan hukum dari harta ke­kayaan pemilik dan pe­ngu­rusnya. Dengan demikian ke­ka­yaan BUMN Persero adalah se­bagai badan hukum bukanlah ke­ka­yaan negara.
Kekaburan pengertian Ke­u­a­ngan Negara dimulai oleh definisi ke­uangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 ten­tang Keuangan Negara yang me­nya­takan keuangan negara adalah se­mua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, ser­ta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Tampaknya pemerintah me­nya­dari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit ber­masalah (non-performing loan/ NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Menteri Keuangan meminta Fat­wa Mahkamah Agung. Mah­ka­mah Agung dalam Fatwanya me­nya­takan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara ka­rena bank BUMN Persero tunduk pada UU PT. Dengan demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero.
Selanjutnya keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara.
 Apakah kerugian dari satu tran­sak­si dalam PT. BUMN (Persero) berarti kerugian PT BUMN (Persero) dan otomatis menjadi kerugian negara?
Pasal 56 UU PT menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun la­po­ran tahunan untuk diajukan ke­pada RUPS, yang memuat se­ku­rang-kurangnya, antara lain per­hi­tung­an tahunan yang terdiri dari ne­raca akhir tahun buku yang baru lam­pau dan perhitungan laba/rugi da­ri buku tahunan yang ber­sang­kutan serta penjelasan atas do­kumen tersebut. Dengan de­mi­ki­an kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti ke­ru­gian perseroan terbatas tersebut, ka­rena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas tersebut, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi men­ja­di kerugian negara. Namun be­be­rapa sidang pengadilan tindak pi­dana korupsi telah menuntut ter­dakwa karena telah terjadinya ke­ru­gian dari satu atau dua transaksi.
Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara?
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 ten­tang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang ber­bunyi :
“Setiap orang yang secara me­lawan hukum melakukan per­bu­atan memperkaya diri sendiri  atau orang lain atau suatu koorporasi  yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara …” Kata-kata : “… yang dapat me­ru­gi­kan keuangan negara atau per­e­ko­nomian negara ..” , yang dapat di­tafsirkan menurut kehendak si­apa saja yang membacanya tidak men­datangkan kepastian hukum ke­pada pencari keadilan dan pe­ne­gak hukum, karena perbuatan a­tau peristiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya.
Telah ada definisi “Kerugian Ne­gara” yang menciptakan kepastian hu­kum, yaitu sebagaimana yang ter­cant­um dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Per­ben­da­haraan Negara, Pasal 1 ayat (22) : “Kerugian Negara/Daerah adalah ke­kurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jum­lahnya akibatnya perbuatan me­lawan hukum baik sengaja ma­u­pun lalai”. “Kerugian negara yang nyata dan pasti jum­lah­nya…”, memberi kepastian hu­kum
Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang sa­ham menuntut Direksi atau Ko­mi­sa­r­is bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?  
UU PT tetap memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham. Oleh karenanya Negara sebagai Pemegang Saham dapat meng­gu­gat individu Komisaris dan Direksi ka­rena keputusan mereka diang­gap merugikan.
Adalah tidak benar tuntutan terhadap Direksi dilakukan ber­da­sar­kan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pem­berantasan Tindak Pidana Ko­rup­si, atas dasar harta kekayaan Badan Hu­kum BUMN Persero adalah har­ta kekayaan negara sebagai Pemegang Saham, menurut saya bahwa harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero tidaklah merupakan harta kekayaan negara selaku pemegang saham.
Apakah Pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung dapat me­nga­jukan tuntutan pidana kepada Di­reksi dan Komisaris PT. BUMN (Per­sero) bila mereka melakukan ko­rup­si?
Direksi suatu perusahaan BUMN Perswro dapat dituntut dari segi hukum pidana.Hal ini dapat saja di­lakukan apabila Direksi ber­sang­kutan melakukan penggelapan, pe­malsuan data, dan laporan ke­uangan, pelanggaran Undang-Un­dang Perbankan, pelanggaran Un­dang-Undang Pasar Modal, pe­lang­garan Undang-Undang Anti Mo­no­poli, pelanggaran Undang-Un­dang Anti Pencucian Uang (Money Laundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana.
Sinkronisasi Undang-Undang perlu untuk meningkatkan Pem­be­ran­tasan Korupsi?
Pertama, BPK tidak dapat me­me­riksa BUMN Persero karena ke­ka­yaan BUMN Persero bukan ke­ka­yaan negara. Bila BPK ingin me­me­riksa BUMN Persero maka Pa­sal 23E UUD 45 perlu di­a­man­de­men dengan menyebutkan bahwa BPK tidak hanya memeriksa ke­u­angan negara, tetapi juga keuangan pe­ru­sahaan swasta. Hal ini ber­la­wanan dengan latar belakang a­da­nya BPK sebagai salah satu lem­ba­ga negara.
Kedua, amandemen perlu di­la­ku­kan terhadap Undang-Undang No. 31 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu mengenai pe­nger­tian tindak pidana korupsi, yaitu : “Tindak pidana korupsi… yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara “di­gan­ti menjadi” tindak pidana ko­rup­si… yang dapat merugikan ke­u­a­ngan perusahaan swasta, pe­ru­sa­ha­an negara, dan jawatan.
Pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi perlu dirubah menjadi tidak hanya yang dapat merugikan negara tetapi juga yang tidak merugikan negara, yaitu me­ru­gi­kan perusahaan swasta, karena ko­rup­si adalah kejahatan.
Ketiga, akhirnya perlu pe­ru­ba­han pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, mengikuti usul perubahan definisi keuangan ne­gara dalam beberapa undang-undang sebelumnya seperti ter­se­but di atas, sehingga kekayaan BUMN tidak merupakan ke­u­a­ngan negara atau kekayaan negara se­bagai pemegang saham, tetapi ke­kayaan badan hukum itu sen­diri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar