Oleh: Erman Rajagukguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Hukum tidak otomatis berperan dalam pembangunan ekonomi. Untuk dapat mendorong pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menciptakan kualitas. “predictability, “stability”, dan “fairness”. Tidak adanya keseragaman, adanya kerancuan dan salah pemahaman mengenai keuangan negara dan kerugian negara telah mendatangkan ketidakpastian hukum dan akhirnya menghambat pembangunan ekonomi. Paling sedikit ada enam masalah mengenai kerancuan “keuangan negara” dan “kerugian negara” dalam usaha pemberantasan tindak pidana korupsi dewasa ini, yaitu:
Apakah asset PT. BUMN Persero adalah termasuk keuangan negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN) menyatakan bahwa Perusahaan Persero (Persero) adalah BUMN yang berbentuk perseroan terabatas yang modalnya terbagi atas saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mencari keuntungan. Selanjutnya menurut Pasal 11 Persero berlaku ketentuan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 (UU PT). Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) UU PT, BUMN persero memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh menteri Kehakiman.
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian kekayaan BUMN Persero adalah sebagai badan hukum bukanlah kekayaan negara.
Kekaburan pengertian Keuangan Negara dimulai oleh definisi keuangan negara dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyatakan keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).
Tampaknya pemerintah menyadari kekeliruan pemikiran tersebut di atas ketika menghadapi kredit bermasalah (non-performing loan/ NPL) bank PT. BRI (Persero) Tbk, PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.
Menteri Keuangan meminta Fatwa Mahkamah Agung. Mahkamah Agung dalam Fatwanya menyatakan bahwa tagihan bank BUMN bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU PT. Dengan demikian Mahkamah Agung berpendapat kekayaan negara terpisah dari kekayaan BUMN Persero.
Selanjutnya keuangan BUMN Persero bukan keuangan negara.
Pasal 56 UU PT menyatakan bahwa dalam waktu lima bulan setelah tahun buku perseroan ditutup, Direksi menyusun laporan tahunan untuk diajukan kepada RUPS, yang memuat sekurang-kurangnya, antara lain perhitungan tahunan yang terdiri dari neraca akhir tahun buku yang baru lampau dan perhitungan laba/rugi dari buku tahunan yang bersangkutan serta penjelasan atas dokumen tersebut. Dengan demikian kerugian yang diderita dalam satu transaksi tidak berarti kerugian perseroan terbatas tersebut, karena ada transaksi-transaksi lain yang menguntungkan. Andaikata ada kerugian juga belum tentu secara otomatis menjadi kerugian perseroan terbatas tersebut, karena mungkin ada laba yang belum dibagi pada tahun yang lampau atau ditutup dari dana cadangan perusahaan.
Dengan demikian tidak benar kerugian dari satu transaksi menjadi kerugian negara. Namun beberapa sidang pengadilan tindak pidana korupsi telah menuntut terdakwa karena telah terjadinya kerugian dari satu atau dua transaksi.
Apakah yang dimaksud dengan kerugian negara?
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang berbunyi :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu koorporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara …” Kata-kata : “… yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ..” , yang dapat ditafsirkan menurut kehendak siapa saja yang membacanya tidak mendatangkan kepastian hukum kepada pencari keadilan dan penegak hukum, karena perbuatan atau peristiwa tersebut belum nyata atau belum tentu terjadi dan belum pasti jumlahnya.
Telah ada definisi “Kerugian Negara” yang menciptakan kepastian hukum, yaitu sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No.1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) : “Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya akibatnya perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. “Kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya…”, memberi kepastian hukum
Apakah ada upaya hukum bagi Pemerintah sebagai pemegang saham menuntut Direksi atau Komisaris bila tindakan mereka dianggap merugikan Pemerintah sebagai pemegang saham?
UU PT tetap memungkinkan Pemegang Saham menggugat Direksi atau Komisaris apabila keputusan mereka itu dianggap merugikan Pemegang Saham. Oleh karenanya Negara sebagai Pemegang Saham dapat menggugat individu Komisaris dan Direksi karena keputusan mereka dianggap merugikan.
Adalah tidak benar tuntutan terhadap Direksi dilakukan berdasarkan Undang-Undang No. 21 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, atas dasar harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero adalah harta kekayaan negara sebagai Pemegang Saham, menurut saya bahwa harta kekayaan Badan Hukum BUMN Persero tidaklah merupakan harta kekayaan negara selaku pemegang saham.
Apakah Pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung dapat mengajukan tuntutan pidana kepada Direksi dan Komisaris PT. BUMN (Persero) bila mereka melakukan korupsi?
Direksi suatu perusahaan BUMN Perswro dapat dituntut dari segi hukum pidana.Hal ini dapat saja dilakukan apabila Direksi bersangkutan melakukan penggelapan, pemalsuan data, dan laporan keuangan, pelanggaran Undang-Undang Perbankan, pelanggaran Undang-Undang Pasar Modal, pelanggaran Undang-Undang Anti Monopoli, pelanggaran Undang-Undang Anti Pencucian Uang (Money Laundering) dan Undang-Undang lainnya yang memiliki sanksi pidana.
Sinkronisasi Undang-Undang perlu untuk meningkatkan Pemberantasan Korupsi?
Pertama, BPK tidak dapat memeriksa BUMN Persero karena kekayaan BUMN Persero bukan kekayaan negara. Bila BPK ingin memeriksa BUMN Persero maka Pasal 23E UUD 45 perlu diamandemen dengan menyebutkan bahwa BPK tidak hanya memeriksa keuangan negara, tetapi juga keuangan perusahaan swasta. Hal ini berlawanan dengan latar belakang adanya BPK sebagai salah satu lembaga negara.
Kedua, amandemen perlu dilakukan terhadap Undang-Undang No. 31 tentang Tindak Pidana Korupsi yaitu mengenai pengertian tindak pidana korupsi, yaitu : “Tindak pidana korupsi… yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara “diganti menjadi” tindak pidana korupsi… yang dapat merugikan keuangan perusahaan swasta, perusahaan negara, dan jawatan.
Pasal 2 Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi perlu dirubah menjadi tidak hanya yang dapat merugikan negara tetapi juga yang tidak merugikan negara, yaitu merugikan perusahaan swasta, karena korupsi adalah kejahatan.
Ketiga, akhirnya perlu perubahan pengertian keuangan negara dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, mengikuti usul perubahan definisi keuangan negara dalam beberapa undang-undang sebelumnya seperti tersebut di atas, sehingga kekayaan BUMN tidak merupakan keuangan negara atau kekayaan negara sebagai pemegang saham, tetapi kekayaan badan hukum itu sendiri