“Dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, kemiskinan masih akan jadi masalah utama bangsa Indonesia, dilihat dari segi konsumsi maupun pendapatan.” ujar Dr. Sri Adiningsih, MSc., ekonom dari Universitas Gajah Mada, salah satu narasumber di Konsultasi Nasional yang diadakan oleh Institut Leimena bersama dengan Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Persatuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia, serta Persatuan Gereja Pentakosta Indonesia, September 2008 lalu.
Dr. Sri Adiningsih menampilkan potret ekonomi Indonesia sebagai berikut:
Stabilitas ekonomi makro tetap terjaga, namun rapuh, apalagi pasar keuangan global tengah menghadapi krisis. Pertumbuhan ekonomi meningkat, terutama karena kenaikan harga barang primer dan sektor non-tradable. Kebijakan ekonomi terlalu liberal karena semakin bergantung ke luar negeri. Anggaran terjebak kebijakan jangka pendek, tampak populis, tapi pembangunan strategis seperti jembatan, jalanan, atau listrik tidak dilakukan.
Sementara itu, kemiskinan di Indonesia masih besar. Padahal definisi “kemiskinan” yang dipakai sudah sangat lunak dibandingkan, misalnya, dengan standar Bank Dunia. Belum lagi penambahan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Bantuan Beras bagi Rakyat Miskin) dapat menurunkan angka kemiskinan secara semu. Dari banyak penelitian, sumber kemiskinan antara lain adalah kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, infrastruktur yang buruk, dan ketiadaan modal.
Pilar ekonomi Indonesia saat ini sebetulnya UKM. Di sinilah banyak orang miskinnya. Namun usaha mikro sekarang berkembang bukan akibat desain pemerintah, tapi karena orang tidak ada pilihan. Daripada menganggur, lebih baik membuka Warteg atau sejenisnya. Usaha kecil di Indonesia naik dari 44 juta (2007) menjadi hampir 50 juta (2008). Usaha menengah turun dari 6 juta ke sekitar 4 juta, sedangkan usaha besar umumnya stagnan.
Menurut UN Millenium Project, pertanian adalah cara mengatasi kemiskinan di desa. Selain itu perlu mengembangkan investasi dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan, transportasi, listrik, serta pelayanan masyarakat.
Dalam konteks ini, gereja harus menjadi pilar penting dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Gereja harus memberikan pencerahan, semangat, optimisme. “Walaupun kecil, kita jangan mengalami minority syndrome. Gereja-gereja di Indonesia punya jaringan nasional dan berbagai program pengentasan kemiskinan, meskipun hasilnya memang masih jauh dari memuaskan.” papar Dr. Sri Adiningsih. Ia pun menceritakan pengalamannya menjadi pembina program sosial di gerejanya. “Motto kami adalah melayani dulu, urusan uang kemudian, jadi bukannya bertanya dulu apakah punya uang atau tidak.”
“Ini adalah pekerjaan besar, tapi saya percaya kita akan bisa melakukannya dengan cara dan kemampuan kita masing-masing.” kata Dr. Sri Adiningsih dengan optimis.**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar