Jumat, 31 Desember 2010
Selasa, 28 Desember 2010
ilmu administrasi bisnis adalah ilmu yang berhubungan dengan pengelolaan perusahaan, antara lain manajemen umum, manajemen produksi, manajemen keuangan (termasuk akuntansi), manajemen sdm (sumber daya manusia), manajemen pemasaran.
Fungsi-fungsi manajemen tersebut adalah uniersal, yang artinya sama dimana saja,dalam seluruh organisasi dan pada waktu kapan saja,
Alasan mengapa dibutuhkan manajemen:
1. untuk mencapai tujuan, manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi atau probadi.
2. untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan,sasaran-sasaran dan kegiatan yang saling bertentangan dari pihak yang berkepentingan dalam organisasi sebuah perusahaan.
3. untuk mencapai efisiensi dan efektifitas , suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda.
Fungsi-fungsi manajemen tersebut adalah uniersal, yang artinya sama dimana saja,dalam seluruh organisasi dan pada waktu kapan saja,
Alasan mengapa dibutuhkan manajemen:
1. untuk mencapai tujuan, manajemen dibutuhkan untuk mencapai tujuan organisasi atau probadi.
2. untuk menjaga keseimbangan diantara tujuan-tujuan yang saling bertentangan, manajemen dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara tujuan-tujuan,sasaran-sasaran dan kegiatan yang saling bertentangan dari pihak yang berkepentingan dalam organisasi sebuah perusahaan.
3. untuk mencapai efisiensi dan efektifitas , suatu kerja organisasi dapat diukur dengan banyak cara yang berbeda.
Sabtu, 25 Desember 2010
Hari ini
Dimulai dari diri sendiri,,baru orang lain... pengalaman yang berharga adalah kesalahan dari hidup. Dari situ kita dapat memetik pengalaman hidup agar tidak terulang untuk kedua kalinya. Hidup adalah masalah, masalah itu dari kita sendiri,dan hanya diri kita sendiri yang bisa menyelesaikannya,,,sepahit atau sesedih apapun masalah yang kita alami kita harus bersabar, karena walaupun kita tidak bersabar,,toh masalah tetap menyakitkan.
Satu haL yang akku sesali,,aku tidak bisa melihat kesempatan itu datang...
Rabu, 22 Desember 2010
DAMPAK PEMBALAKAN LIAR
Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektare setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan.
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektare pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi.
Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektare kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektare per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010.
Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan.
Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektare pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004).
Senin, 20 Desember 2010
POTRET KEMISKINAN DI INDONESIA
“Dalam 10 hingga 15 tahun ke depan, kemiskinan masih akan jadi masalah utama bangsa Indonesia, dilihat dari segi konsumsi maupun pendapatan.” ujar Dr. Sri Adiningsih, MSc., ekonom dari Universitas Gajah Mada, salah satu narasumber di Konsultasi Nasional yang diadakan oleh Institut Leimena bersama dengan Persatuan Gereja-gereja Indonesia, Persatuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia, serta Persatuan Gereja Pentakosta Indonesia, September 2008 lalu.
Dr. Sri Adiningsih menampilkan potret ekonomi Indonesia sebagai berikut:
Stabilitas ekonomi makro tetap terjaga, namun rapuh, apalagi pasar keuangan global tengah menghadapi krisis. Pertumbuhan ekonomi meningkat, terutama karena kenaikan harga barang primer dan sektor non-tradable. Kebijakan ekonomi terlalu liberal karena semakin bergantung ke luar negeri. Anggaran terjebak kebijakan jangka pendek, tampak populis, tapi pembangunan strategis seperti jembatan, jalanan, atau listrik tidak dilakukan.
Sementara itu, kemiskinan di Indonesia masih besar. Padahal definisi “kemiskinan” yang dipakai sudah sangat lunak dibandingkan, misalnya, dengan standar Bank Dunia. Belum lagi penambahan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Bantuan Beras bagi Rakyat Miskin) dapat menurunkan angka kemiskinan secara semu. Dari banyak penelitian, sumber kemiskinan antara lain adalah kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, infrastruktur yang buruk, dan ketiadaan modal.
Pilar ekonomi Indonesia saat ini sebetulnya UKM. Di sinilah banyak orang miskinnya. Namun usaha mikro sekarang berkembang bukan akibat desain pemerintah, tapi karena orang tidak ada pilihan. Daripada menganggur, lebih baik membuka Warteg atau sejenisnya. Usaha kecil di Indonesia naik dari 44 juta (2007) menjadi hampir 50 juta (2008). Usaha menengah turun dari 6 juta ke sekitar 4 juta, sedangkan usaha besar umumnya stagnan.
Menurut UN Millenium Project, pertanian adalah cara mengatasi kemiskinan di desa. Selain itu perlu mengembangkan investasi dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan, transportasi, listrik, serta pelayanan masyarakat.
Dalam konteks ini, gereja harus menjadi pilar penting dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Gereja harus memberikan pencerahan, semangat, optimisme. “Walaupun kecil, kita jangan mengalami minority syndrome. Gereja-gereja di Indonesia punya jaringan nasional dan berbagai program pengentasan kemiskinan, meskipun hasilnya memang masih jauh dari memuaskan.” papar Dr. Sri Adiningsih. Ia pun menceritakan pengalamannya menjadi pembina program sosial di gerejanya. “Motto kami adalah melayani dulu, urusan uang kemudian, jadi bukannya bertanya dulu apakah punya uang atau tidak.”
“Ini adalah pekerjaan besar, tapi saya percaya kita akan bisa melakukannya dengan cara dan kemampuan kita masing-masing.” kata Dr. Sri Adiningsih dengan optimis.**
Dr. Sri Adiningsih menampilkan potret ekonomi Indonesia sebagai berikut:
Stabilitas ekonomi makro tetap terjaga, namun rapuh, apalagi pasar keuangan global tengah menghadapi krisis. Pertumbuhan ekonomi meningkat, terutama karena kenaikan harga barang primer dan sektor non-tradable. Kebijakan ekonomi terlalu liberal karena semakin bergantung ke luar negeri. Anggaran terjebak kebijakan jangka pendek, tampak populis, tapi pembangunan strategis seperti jembatan, jalanan, atau listrik tidak dilakukan.
Sementara itu, kemiskinan di Indonesia masih besar. Padahal definisi “kemiskinan” yang dipakai sudah sangat lunak dibandingkan, misalnya, dengan standar Bank Dunia. Belum lagi penambahan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dan Raskin (Bantuan Beras bagi Rakyat Miskin) dapat menurunkan angka kemiskinan secara semu. Dari banyak penelitian, sumber kemiskinan antara lain adalah kualitas Sumber Daya Manusia yang rendah, infrastruktur yang buruk, dan ketiadaan modal.
Pilar ekonomi Indonesia saat ini sebetulnya UKM. Di sinilah banyak orang miskinnya. Namun usaha mikro sekarang berkembang bukan akibat desain pemerintah, tapi karena orang tidak ada pilihan. Daripada menganggur, lebih baik membuka Warteg atau sejenisnya. Usaha kecil di Indonesia naik dari 44 juta (2007) menjadi hampir 50 juta (2008). Usaha menengah turun dari 6 juta ke sekitar 4 juta, sedangkan usaha besar umumnya stagnan.
Menurut UN Millenium Project, pertanian adalah cara mengatasi kemiskinan di desa. Selain itu perlu mengembangkan investasi dalam bidang kesehatan dasar, pendidikan, transportasi, listrik, serta pelayanan masyarakat.
Dalam konteks ini, gereja harus menjadi pilar penting dalam memerangi kemiskinan dan keterbelakangan. Gereja harus memberikan pencerahan, semangat, optimisme. “Walaupun kecil, kita jangan mengalami minority syndrome. Gereja-gereja di Indonesia punya jaringan nasional dan berbagai program pengentasan kemiskinan, meskipun hasilnya memang masih jauh dari memuaskan.” papar Dr. Sri Adiningsih. Ia pun menceritakan pengalamannya menjadi pembina program sosial di gerejanya. “Motto kami adalah melayani dulu, urusan uang kemudian, jadi bukannya bertanya dulu apakah punya uang atau tidak.”
“Ini adalah pekerjaan besar, tapi saya percaya kita akan bisa melakukannya dengan cara dan kemampuan kita masing-masing.” kata Dr. Sri Adiningsih dengan optimis.**
Langganan:
Postingan (Atom)